Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Rafidhah (Syiah) adalah kelompok yang tidak memiliki andil apa pun selain menghancurkan Islam, memutuskan ikatannya, dan merusak kaidah-kaidahnya.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah)
Sejarah telah mencatat bahwa kelompok Syiah begitu fanatik kepada Persia
yang memusuhi bangsa Arab. Oleh karena itu, sangat besar kebencian
mereka kepada sahabat Umar Ibnu Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Sebab, di masa kekhalifahannya negara Persia itu ditaklukkan. Bahkan,
hingga hari ini Syiah selalu merayakan hari-hari besar yang merupakan
budaya Persia, seperti Norouz atau Nowruz.
Kelompok Syiah telah banyak merugikan Islam. Mereka benci luar biasa kepada Ahlus Sunnah. Cukuplah menjadi bukti dan diketahui bahwa tiga ratus ribu jiwa dari kalangan Ahlus Sunnah yang ada di Teheran, ibukota Iran, tidak memiliki satu pun masjid.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya penyebab
utama fitnah (kejelekan) dan bencana itu adalah Syiah dan yang
bergabung bersamanya. Mayoritas pedang yang terhunus di dalam (sejarah)
Islam adalah dari arah mereka. Kezindiqan (kemunafikan) telah
menyelimuti mereka. Kelompok Syiah memberikan loyalitas kepada musuh
agama ini—musuh agama yang diketahui oleh setiap orang—yaitu
Yahudi, Nasrani, dan musyrikin. Mereka malah memusuhi wali-wali Allah Ta’ala, orang-orang pilihan yang menganut agama ini dan orang-orang yang bertakwa….
Selain itu, kelompok Syiah mempunyai andil besar ketika dahulu orang-orang Nasrani menguasai Baitul Maqdis, hingga akhirnya kaum muslimin dapat meraihnya kembali.” (Minhajus Sunnah).
Demi menguatkan eksistensinya di tengah-tengah kaum muslimin, dan
agar dianggap sebagai salah satu mazhab yang diterima di dalam Islam,
Syiah melakukan berbagai makar dan tipu daya. Salah satunya adalah dengan membuka kesempatan bagi para pemuda untuk melanjutkan studinya ke Qum, Iran. Bahkan, Pemerintah Iran menyediakan beasiswa untuk pelajar Indonesia.
Pada 15 April 2005, website nuonline.com
memberitakan bahwa Pemerintah Iran menawarkan beasiswa kepada NU.
Bahkan, telah ada MoU ilegal yang ditandatangani oleh oknum petinggi NU.
Namun, alhamdulillah, pada 2011 Dewan Syuriah PBNU membatalkan MoU itu
dengan alasan tidak ada izin dari Dewan Syuriah terlebih dahulu.
Selain pemberian beasiswa, ada beberapa trik dan strategi yang dijalankan dalam dakwah Syiah di Indonesia, antara lain:
1. Mengedepankan tema persatuan atau ukhuwah Islamiah.
Dalam kajian-kajian, taklim, buku-buku, dan orasi, Syiah selalu tidak meninggalkan tema ini. Haidar Bagir misalnya, salah seorang pentolan Syiah, pendiri penerbitan
buku Syiah (Mizan), menulis tanggapan terhadap orang-orang yang
mengkritik Syiah di Indonesia, “Orang-orang yang pandangannya didengar
oleh para pengikut Syiah di negeri ini, hendaknya mereka meyakinkan para
pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan sebaik-baiknya serta
mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap saudara-saudaranya yang
merupakan mayoritas di negeri ini.”
(http://insistnet.com/menagih-janji-kaum-Syiah/, diakses pada tanggal 03 Maret 2014)
(http://insistnet.com/menagih-janji-kaum-Syiah/, diakses pada tanggal 03 Maret 2014)
Agar perkembangan Syiah berjalan mulus,
Husein al-Habsyi juga ikut mengampanyekan kerukunan umat. Ketika ditanya
oleh seorang mahasiswa di Yogyakarta, Husein pernah mengatakan,
“Menjawab pertanyaan saudara ini, saya kira mengafirkan sesama muslim,
bukan saja tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad n tetapi juga
tidak pantas dan tidak menguntungkan, baik di pihak Syi’ah maupun Ahlus
Sunnah, bahkan bisa melemahkan keduanya. Siapa di antara kita kaum
muslimin—apalagi saudara mahasiswa ini—yang belum mendengar tentang
kristenisasi yang galak dan dahsyat seperti sekarang ini. Mereka sebelum
ini sudah bersatu dan segala aliran; Katolik, Protestan, Advent, ditambah
dengan kaum musyrikin, Zionis dan Yahudi, mereka semua sudah
bersatu, sedangkan kaum Nasrani bergabung dan satu dewan gereja….”
Husein juga mengatakan, “Sedangkan
kita—maaf—secara tidak sadar membantu mereka mengeluarkan
saudara-saudara dan generasi kita yang sekarang ini dari umat dan agama
Islam. Jadi, mereka akan mudah mengkristenkan kita, sedangkan kita
mengkafirkan saudara kita sendiri. Adakah fanatisme yang lebih berat
daripada ini? Kita sekarang ini tidak perlu Syiah atau Sunnah menjadi
bahan gaduh di antara kita, kaum muslimin. Kita perlu Islam yang
bersumberkan al-Qur’an dan al-Hadits diterapkan pada diri kita. Kita
memerlukan ukhuwah, memerlukan pengumpulan dana, serta seluruh
masyarakat dan organinasi Islam untuk menebus jutaan pemuda muslim yang
sekarang di ambang pintu Nasrani untuk dikristenkan.”
2. Menampilkan pustaka atau tokoh Syiah dengan wajah Sunni.
Prof. Dr. Muhammad Baharun menulis, kitab-kitab seperti Muruj al-Dzahabi oleh Ali bin Husein al-Masoudi, Kifayat al-Thalib fi Manaqib Ali bin Abi Thalib, dan al-Bayan fi al-Akhbar Shaib al-Zaman oleh Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Yusuf al-Kanji, Syarh Nahj al-Balaghah oleh Ibnu Abi al-Hadid, Syawahid al-Tanzil
oleh al-Hakim al-Kaskani, dan Yanabi’ al-Mawaddah oleh Sulaiman bin
Ibrahim al-Qanduzi, adalah buku-buku Syiah. Pengarangnya mengaku Sunni
agar bukunya dapat diakses oleh pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kerap kali dijumpai, pengikut Syiah menolak mengaku sebagai Syi’i. Akan
tetapi, terkadang mereka lebih suka disebut pengikut mazhab Ahlu Bait
daripada pengikut Syiah. Beberapa acara publik terkadang menampilkan
tokoh yang tidak memiliki kapasitas, namun diminta untuk berbicara
tentang ukhuwah Sunnah-Syiah. Hal ini adalah taktik pengelabuan untuk
menutupi wajah Syiah yang sesungguhnya.
3. Memberikan imej netral dan melakukan pendekatan.
Hal ini dilakukan di antaranya melalui pendekatan akhlak, memberi
jasa bantuan dana, serta janji-janji kerjasama apabila umat
bersedia bergabung ke dalam institusi tertentu. Kini Syiah menggerakkan
dunia pendidikan, menyediakan dan menyelenggarakan training-training
metode pendidikan. Dengan dukungan aktivis liberal, digulirkan wacana
Syiah dan Ahlus Sunnah sama-sama, tidak boleh menyalahkan Syiah. Wacana
yang dikedepankan adalah Syiah itu sama-sama muslim. Perbedaan antara
Syiah dan Ahlus Sunnah sebatas perbedaan ijtihad politik.
Ketika muncul pro-kontra terkait berdirinya Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah
Indonesia pada 17 Juli 2011, Jalaluddin Rakhmat mengatakan, “Masalah
ajaran itu masing-masing. Lakum dinukum wa liya din, bagimu agamamu bagiku agamaku. Ingat menjalin ukhuwah Islamiah adalah perintah Allah l dalam al-Qur’an.”
Dalam kesempatan lain, ia mengatakan, “Bila ada yang pro,
syukurilah. Kalau ada yang kontra, jangan jawab dengan permusuhan, namun
dengan amal shalih.” (http://news.detik.com/read/2011/07/17/172951/1682998/486/1/majelis-sunni-Syiah-dideklarasikan-di-jawa-barat)
4. Mengampanyekan keterbukaan pemikiran.
Suatu hari, Jalaluddin Rakhmat pernah ditanya tentang filosofi di balik
berdirinya Yayasan Muthahhari, yayasan yang menaungi SMU
Plus Muthahhari, Bandung.
Waktu itu ia menjawab, “Yayasan
Muthahhari tidak didirikan untuk menyebarkan Syiah dan sampai sekarang
lembaga ini tidak menyebarkan Syiah. Di situ ada SMU. Mereka belajar
fikih empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Mereka tidak
mempelajari fikih Syiah secara khusus. Dari Muthahhari juga keluar
jurnal al-Hikmah, yang banyak menerjemahkan pikiran-pikiran
Syi’ah.
Tetapi, sekali lagi hanya bersifat pemikiran saja, fikihnya
tidak ada. Belakangan al-Hikmah sedikit menampilkan pemikiran
Syiah. Malah lebih banyak menampilkan pemikiran-pemikiran kalangan
orientalis. Sehingga Yayasan Muthahhari, dengan melihat isi al-Hikmah
seperti itu, layaklah disebut sebagai ‘agen zionisme Barat’.
Jadi,
mungkin lebih layak Muthahhari ketimbang Paramadina atau Ulumul Qur’an.
Jadi, itu yang pertama: Muthahhari tidak didirikan untuk menjadi markas
Syi’ah. Lalu, kalau begitu, mengapa diambil nama Muthahhari? Itu karena
tiga pertimbangan.
Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir
Syiah yang sangat non-sectarian, yang sangat terbuka. Ia sangat
apresiatif terhadap pemikiran Sunni. Ia tidak pernah menyerang Sunni. Ia
lebih banyak belajar dari Sunni. Karena itu, kita ambil tokoh
Muthahhari sebagai tokoh yang bersikap non-sectarian, terbuka terhadap
berbagai pemikiran, bukan karena Syi’ahnya.
Kedua, Muthahhari itu orang yang dibesarkan dalam sistem
pendidikan Islam tradisional, tetapi setidak-tidaknya cukup well
informed tentang khazanah pemikiran Barat. Ia menjembatani dikotomi
antara intelektual dan ulama. Kita pilih ia, antara lain karena
pertimbangan itu, bukan karena Syi’ah. Karena misi Yayasan Muthahhari
yang kedua adalah menjembatani antara intelektual dan ulama. Di
Indonesia ini banyak cendekiawan yang menulis tentang Islam, tetapi
tidak punya dasar dan tradisi Islam tradisional, sebagaimana juga banyak
ulama Islam tradisional yang tidak mempunyai wawasan kemodernan.
Muthahhari mencerminkan keduanya.”
5 . Mendekati NU dan Muhammadiyah sebagai backing.
Di Bandung, dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu menolak MUI mengeluarkan fatwa sesat Syiah.
Sebuah website Syiah pernah memuat berita
berikut, “Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Muthi, menolak
adanya fatwa sesat terhadap Syiah dari lembaga keagamaan mana pun di
Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia. Menurut dia, fatwa sesat
dari MUI di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,
terbukti menjadi alat melegitimasikan kekerasan terhadap pengikut Syiah
dan memicu konflik horizontal antar umat Islam. ‘Fatwa dari mana pun
harus tidak untuk mengkafirkan dan menyesatkan,’ ujar Muthi kepada
Tempo, Kamis, 19 Desember 2013.
Muthi menanggapi desakan sebagian pihak
yang mendesak MUI DIY mengeluarkan fatwa sesat terhadap aliran Syiah di
Yogyakarta. Pihak tersebut mengklaim telah mencatat 10 organisasi
berhaluan Syiah di DIY.
Menurut Muthi, fatwa sesat itu berpotensi besar menimbulkan persoalan kebangsaan serius di Indonesia. Lembaga seperti MUI di daerah mana pun sebaiknya tidak lagi mengeluarkan fatwa
penyesatan, khususnya untuk Syiah.
Alasannya, hal itu memperbesar
konflik antar umat Islam. ‘Umat Islam sudah mengalami banyak situasi
sulit dan persoalan, jangan ditambah dengan masalah-masalah seperti
ini,’ ujar dia. Dia menyarankan MUI Pusat maupun daerah menghindari
fatwa semacam pengadil kebenaran atau kesesatan akidah dan keyakinan
setiap kelompok umat Islam mana pun.
Sebaliknya, dia menambahkan, MUI mengambil posisi tegas untuk memediasi
perbedaan dan pertentangan pendapat antarorganisasi Islam di Indonesia.
‘MUI harus berperan sebagai pemersatu umat Islam,’ kata Muthi. Muthi
tidak sepakat dengan pendapat pihak tersebut mengenai salah satu alasan
desakannya, yakni buku terbitan MUI Pusat yang berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia. Menurut
dia, buku itu keluar justru sebagai pernyataan sikap MUI Pusat untuk
menolak memberikan fatwa penyesatan ke Syiah Indonesia. ‘Umat Islam
harus bisa memberikan sumbangan konstruktif untuk Indonesia,’ kata dia.
Sikap serupa muncul dari Pengurus Wilayah
NU Daerah Istimewa Yogyakarta. Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul
Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta, KH. Asyhari Abta, menyatakan MUI
DIY tidak perlu menggubris permintaan pihak tersebut. Kiai dari
Pesantren Yayasan Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta ini menganggap fatwa
sesat malah bisa memicu konflik antarkelompok berbeda paham agama. “Bisa
memperuncing perbedaan dan memicu tabrakan antarkelompok,” ujar dia.
Asyhari mengatakan, sekalipun MUI DIY menemukan ada
indikasi penyimpangan upaya maksimal hanya perlu dilakukan dengan dialog
dan nasihat. Penyesatan pada ajaran malah bisa mendorong tudingan sesat
ke kelompok-kelompok lain. “Sesat atau tidak sesat itu keputusannya
di Allah Subhanahu Wataala,” ujar dia.
Segala trik, makar, dan tipudaya Syiah ini tentu tidak lepas dari keyakinan para penganut Syiah tentang taqiyyah. Mereka meyakini bahwa sembilan puluh persen persoalan agama ini ada dalam taqiyyah. Tidak ada agama bagi siapa yang tidak ber-taqiyyah. Taqiyyah itu dalam segala sesuatu kecuali yang berhubungan dengan minuman anggur dan mengusap dua khuf.
Al-Kulaini dalam Ushulul Kafi—sebuah
kitab hadits milik Syiah—mengutip riwayat dari Abu Abdillah, ia
berkata, “Jagalah agama kalian dan halangi diri kalian dengan taqiyyah, karena tidak ada keimanan bagi yang tidak bertaqiyyah.” (Ushul al-Kafi, hlm. 482—483)
Taqiyyah sendiri bermakna mengatakan atau mengerjakan sesuatu
yang berbeda dengan apa yang diyakini dengan tujuan menjaga bahaya
yang mengancam diri dan harta atau demi menjaga kemuliaan. (asy-Syi’ah fi al-Mizan, hlm. 47)
Bahkan, Syiah mengaku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam melakukantaqiyyah ketika meninggalnya Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh munafikin. Syiah mengklaim bahwa Rasul Shallallahu ‘alahi wa Sallam datang menyalati jenazahnya, lalu Umar berkata, “Bukankah Allah Ta’ala telah melarangmu untuk berdiri di kuburan orang munafik ini?”
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam menjawab, “Celaka kau,
Umar, apa kamu tahu apa yang aku ucapkan? Sesungguhnya aku katakan, ‘Ya
Allah, nyalakanlah api di bagian perutnya, penuhilah kuburannya dengan
api dan bagian dinding-dindingnya dengan api’.” (Furu’ al-Kafi, Kitabul Jana’iz, hlm. 188)
Lihatlah, bagaimana lancangnya dan beraninya Syiah melakukan kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Intinya, Syiah menganggap bahwa taqiyyah adalah
kewajiban, ajaran Syiah tidak akan tegak kecuali dengannya. Mereka
menjadikan taqiyyah sebagai fondasinya, baik secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan. Mereka mengamalkan taqiyyah terkhusus ketika melalui situasi-situasi yang sulit. Maka dari itu, waspadalah selalu dari kelompok Syiah, wahai kaum muslimin!
Bagaimana pun besarnya makar dan tipu daya Syiah terhadap Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetap menjaganya. Oleh karena itu, hal ini jangan menjadikan kaum muslimin ragu terhadap agamanya. Yakinlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghancurkan, membongkar, dan membalas makar mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{وَإِذْ
يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ
يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ
الْمَاكِرِينَ (30)} [الأنفال: 30]
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang
kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk
menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka
membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya itu.” (al-Anfal: 30)
{وَكَانَ
فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا
يُصْلِحُونَ (48) قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللَّهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ
وَأَهْلَهُ ثُمَّ لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَا شَهِدْنَا مَهْلِكَ
أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (49) وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا
مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (50) فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
مَكْرِهِمْ أَنَّا دَمَّرْنَاهُمْ وَقَوْمَهُمْ أَجْمَعِينَ (51) فَتِلْكَ
بُيُوتُهُمْ خَاوِيَةً بِمَا ظَلَمُوا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ (52)} [النمل: 48 – 52]
Dan di kota itu ada sembilan orang
laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan
perbaikan. Mereka berkata, “Bersumpahlah kamu dengan (nama) Allah, bahwa
kita pasti akan menyerang dia bersama keluarganya pada malam hari,
kemudian kita akan mengatakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak
menyaksikan kebinasaan keluarganya itu, dan sungguh, kita orang yang
benar.” Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya,
sedang mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah bagaimana akibat dari
tipu daya mereka, bahwa Kami membinasakan mereka dan kaum mereka
semuanya. Maka itulah rumah-rumah mereka yang runtuh karena kezaliman
mereka. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mengetahui.” (an-Naml: 48—52).
(Majalah Asy Syariah edisi 102 hlm 22–27)
Sumber : Klik Disini